Social Media Accountability 

Juli 2021. Indonesia terhantam lagi dengan gelombang Covid-19 yang entah keberapa sejak 18 bulan lalu memang tidak pernah turun ke level yang menenangkan.

Tapi kelihatannya hal itu nggak menghalangi buat semua elemen di Indonesia beberapa bulan terakhir euphoria bergerak ke arah seakan-akan sudah lewat masa krisis, mengikuti negara-negara maju yang memang sudah melewatinya.

Peran besar manusia di balik pengaruh social media terhadap penyebaran dan peningkatan kasus Covid-19 selama pandemic tampaknya konsep yang sedikit tabu buat dibahas atau berani diucapkan oleh masyarakat, umumnya karena takut akan diserang alih-alih mencoba memahaminya.

Setelah masa Lebaran banyak orang yang heran kenapa koq kasus Covid naik lagi? How did this happen?? Menurut saya, who are we kidding?! We saw this coming, you saw this coming. Orang yang sama yang lupa bahwa selama masa pandemic berkontribusi melalui kegiatan yang dilakukan.

Mudah lupa memang ciri orang yang punya (merasa punya) privilege/entitlement/keistimewaan.

Padahal pada kenyataannya kita semua sama:

Pejabat bukan pejabat, Artis bukan artis, Influencer bukan influencer, Yang followers-nya 5000, Yang follower-nya 50, Pekerja kantoran bukan kantoran, CEO bukan CEO, Support staff, OB, Satpam, Ibu/Bapak Rumah Tangga, Ibu/Bapak Karier, Yang income-nya sebulan 100 juta, Yang income-nya sebulan 100 ribu, Yang suka olahraga keluar, Yang tidak olahraga keluar. Yang modal alat olahraganya 50 juta, Yang modal alat olahraganya kutang doang. Yang WFH, Yang WFO. Yang punya mobil sendiri, Yang naik angkot.

Tidak ada yang lebih istimewa, SEMUA punya imbas, pengaruh dan tanggung jawab yang sama dari dampak eksistensi dirinya terhadap lingkungan dan lingkupnya. You are not snowflakes. Elo, gue, sama.

Ketika terjadi ripple efek dari tindakan kita, kita merasa tidak salah karena hanya ada 1 perspektif yang kelihatan dan tampaknya jauh keterkaitannya, tidak siap menerima kenyataan bahwa kita juga berkontribusi.

Semakin jauh impact-nya, semakin turun kualitas dari pesan yang sampai. Belom tentu orang yang menerima pesan memiliki kemampuan dan kontrol yang sama dengan kita. Tapi, saya jamin, hal itu tidak akan menghentikan mereka untuk ikutan. Ini human nature.

Di sini lah yang konsep umumnya kurang dipahamin. Social Media Accountability. Berfungsi kurang lebih sebagai kontrol dalam masyarakat sebagai penggerak sosial yang paling dasar (akar rumput).

Kemampuan menjawab atau keadaan dimana kita diminta pertanggung jawaban atas tindakan social media kita. Pertanggung jawaban sosial.

Accountability akan terasa seperti serangan kepada orang yang tidak siap untuk mengakui bahwa action dan sikap mereka memiliki efek/pengaruh dan impact terhadap orang lain. Encouragement langsung atau tidak langsung. Diniatin atau tidak diniatin.

Jadi apa dong yang harus dilakuin? Pertama, stop our double standard, own it and admit kesalahan kita lalu do better. At least sadarin dulu sendiri.

Langkah berikutnya, less talk -wejangan share nasehat caption- yang kita sendiri lakuin tapi berharap orang lain nggak lakuin dan ganti dengan more lead by examples.

Langkah berikutnya, lead by examples.

Langkah lainnya, lead by examples.

Lalu, lead by examples lagi.

Langkah terakhir, lead by examples.

Udah begitu. Menurut saya.

Share better and influence better, now.

Tell me what you think tentang hal ini dan mungkin cerita behaviour seperti apa yang kita post dan take it for granted yang bisa mempengaruhi action orang lain dan bahkan ‘harm’ others di masa pandemic ini.

Take care.

Source: covid – Google Search

Allowed

You are allowed to make a big deal about things that are exciting and important to you, your families, your friend, and your loved ones and be loud about it.

It may or may not be a big deal or important to other people, but, do it anyways.

Do it in a manner that other people also feel safe to express their rights same as you.

Do it within the boundaries of human empathy and human compassion.

Do it without robbing other person’s rights.

Do it with good intentions.

Do it passionately.

Kindness

Kindness is not a weakness, not being able to set boundaries is.

How often do we hear people say some people are “too friendly”, or you’re “too kind” when, in fact, what they mean is the absence of a certain level of boundaries.

When you’re setting boundaries to others, you’re not being mean as the opposite of being kind. 

You’re assertive.

So as long as you know where to draw the line, be as kind as you can all the time if you feel it’s the right thing. Perhaps in certain situations, it’s the only thing that matters.

But remind you’re self and train you’re mind to see what boundaries needs to apply, what value you’re not willing to bargain for the comfort of others by sacrificing yours.

Be kind.

What The Hell Just Happened? Pandemic Time – COVID19

Minggu ke-4. Masa karantina Pandemic Virus Corona. Tangerang Selatan.

Masih teringat dengan jelas, Jumat, 13 Maret 2020. Beberapa hari setelah kasus pertama pasien Positif Corona Covid-19 di Jakarta diumumkan langsung oleh Presiden.

Pada saat itu mungkin belom banyak orang yang mulai khawatir akan potensi penyebaran Virus Corona ini di tanah air lebih lagi di daerah dan tempat mereka bekerja. Business as usual.

Saya memiliki dua pekerjaan penuh waktu. Pertama sebagai pimpinan management & project coordinator di perusahaan swasta keluarga. Kedua sebagai pemilik & pimpinan di sebuah perusahaan lebih kecil sejenis yang mulai dirintis bersama bersama 2 adik.

Jadi saya selalu beranggapan bahwa sangat normal, sudah seharusnya dan tugasnya untuk orang yang bekerja di posisi seperti saya atau siapapun yang menjalankan usaha & pekerjaan baik untuk diri sendiri ataupun orang lain untuk memikirkan, mempertimbangkan, memutuskan seluruh kebijakan utama untuk kegiatan perusahaan sehari-hari secara menyeluruh. Tidak ada yang diluar kemampuan, semua bisa dijalankan dan bisa dilakukan dengan tenang. Pasti ada jalan keluarnya.

Tapi, tidak pada hari itu. Saya berangkat ke kantor pagi itu sudah mulai dengan perasaan luar biasa tidak tenang untuk pertama kalinya sepanjang karir pekerjaan saya.

By nature saya adalah manusia pemikir, menganalisa informasi, disandingkan dengan banyak “gut feeling. Saya sering ragu sehari-hari apakah saya punya kecenderunga anxiety yang lebih tinggi dari orang pada umumnya atau memang normal semua orang seperti itu.

Namun pada hari itu saya yakin: there is no way anxiety level yang sedang saya rasakan adalah normal.

Sepanjang perjalanan sambil menyetir, otak pun mulai susun skenario. Banyak muncul pertanyaan di kepala di waktu yang bersamaan. Pikiran rasanya sekejap memproses menggunakan 100% kapasitas RAM yang ada di kepala saat itu.

Musti bagaimana seandainya virus betul-betul menyebar? Apa ini bencana? Ini virus apa? Bagaimana cara penyebarannya? Seberapa fatal? Buat orang tua bagaimana? OMG Ibu Bapak, harus buru-buru dikabarin. Adek-adek.

Lalu kantor.

Libur? Berapa lama? Indikatornya apa? Gimana antisipasinya buat lingkungan kantor? Gimana proses kerja di workshop? Gimana cara project tetap berjalan sesuai waktu delivery Kontrak? Gimana cara nggak kehilangan uang? Uang gaji karyawan, uang pembayaran supplier, uang buat menjalankan operasional? Akan berimpas ke Perusahaan berapa besar. Dan THR. Bulan Mei harus bayar THR. Pajak? Operasional? Koordinasi staff? Update ke User? Saya harus delegate, pilih siapa yang mampu. Harus cepat bikin pengumuman dan panduan. Tapi seperti apa? Seberapa luas cakupannya? Bagaimana saya mulainya, panduannya dari mana. Info resmi Pemerintah mana? Apa saya harus putuskan lebih dulu atau menunggu instruksi pemerintah atau penjelasan dan panduan? Atau saya harus santai saja semua ini hanya di lebih-lebih kan.

Nggak ada yang mau jadi saya dan tau rasanya ada didalam kepala saya disaat itu.

Semua pertanyaan muncul tanpa tahu harus memulai mencari jawaban darimana. Kemana. Saya tidak melihat jalan keluar dan tercekik. Napas. Saya tidak bisa bernapas.

Lalu muncul lah.

Serangan yang sudah tidak pernah muncul lagi selama 10 tahun lebih.

Saya mengalami serangan panik.

Harinya adalah Jumat, 13 Maret 2020.

Anyway

People are often unreasonable and self-centered. Forgive them anyway.

If you are kind, people may accuse you of ulterior motives. Be kind anyway.

If you are honest, people may cheat you. Be honest anyway.

If you find happiness, people may be jealous. Be happy anyway.

The good you do today may be forgotten tomorrow. Do good anyway.

Give the world the best you have, and it may never be enough. Give your best anyway.